NASIONAL, (JARAK.co) – Pernah lihat anak-anak di Jepang pulang sekolah jalan kaki sendiri? Buat sebagian orang Indonesia, itu mungkin tampak berbahaya atau tidak biasa. Tapi di Jepang, itu hal yang sangat umum, bahkan sudah jadi budaya.
Anak-anak SD di Jepang terbiasa berangkat dan pulang sekolah sendiri, tanpa diantar atau dijemput. Mereka tahu rute jalan, tahu aturan lalu lintas, dan saling menjaga teman-temannya.
Ini bukan karena orang tuanya cuek, tapi karena sejak dini mereka diajarkan untuk mandiri dan bertanggung jawab.
Sementara di Indonesia, anak-anak umumnya masih diantar-jemput, bahkan sampai SMP atau SMA.
Kekhawatiran orang tua terhadap keamanan dan kurangnya fasilitas pendukung seperti trotoar yang layak, jadi alasan utamanya. Tapi dari sisi pendidikan, ini juga menunjukkan perbedaan filosofi.
Jepang; Didik Karakter Dulu, Nilai Akademik Menyusul
Di Jepang, pelajaran utama anak SD bukan matematika atau sains, tapi sopan santun, kebersihan, dan kerja sama. Anak-anak membersihkan kelas dan toilet sendiri setiap hari. Mereka juga makan bersama teman di ruang kelas, bukan di kantin.
Menurut Dr. Makiko Naka dari Kyoto University, anak-anak tumbuh mandiri, bukan hanya pintar di atas kertas. “Nilai seperti disiplin, tanggung jawab, dan rasa hormat jadi fokus utama,” ucapnya.
Indonesia; Fokus Akademik Lebih Dulu
Di Indonesia, pendidikan dasar cenderung fokus pada nilai rapor, ujian, dan hafalan. Pendidikan karakter memang ada, tapi seringkali hanya sebagai pelengkap.
Banyak anak yang belum dilatih mandiri, karena sekolah dan orang tua masih banyak mengambil alih tanggung jawab mereka.
Apa yang Bisa Kita Pelajari?
Bukan berarti Indonesia harus meniru Jepang 100%, karena konteks sosial dan infrastrukturnya berbeda. Tapi pendekatan Jepang mengajarkan bahwa pendidikan bukan hanya soal angka dan nilai, tapi juga soal membentuk manusia seutuhnya yang bisa berpikir, bertindak, dan hidup mandiri.
Mungkin ke depan, kita bisa mulai pelan-pelan beri anak kesempatan bertanggung jawab, libatkan mereka dalam kegiatan sosial, dan yang terpenting, percaya bahwa mereka bisa belajar dari pengalaman nyata.***