SUMENEP, (JARAK co) – Ketupat bukan sekadar hidangan lezat yang identik dengan perayaan Idulfitri. Lebih dari itu, ketupat adalah simbol budaya dan kearifan lokal masyarakat Indonesia yang sarat makna filosofis dan historis.
Ketupat, yang terbuat dari beras dan dibungkus dengan anyaman daun kelapa muda (janur), memiliki sejarah panjang dalam tradisi Nusantara. Dalam budaya Jawa, ketupat diperkenalkan oleh Sunan Kalijaga sebagai simbol pembersihan diri dan pengakuan kesalahan.
Kata “ketupat” sendiri diyakini berasal dari istilah “ngaku lepat” yang berarti mengakui kesalahan, dan “laku papat” yang bermakna empat tindakan dalam kehidupan spiritual.
Masyarakat Indonesia dari berbagai suku memiliki tradisi tersendiri dalam menyajikan dan memaknai ketupat. Di Jawa, ketupat sering dihidangkan dalam tradisi Lebaran Ketupat atau Bakda Kupat, yaitu seminggu setelah Idulfitri, sebagai bentuk silaturahmi lanjutan.
Di Minangkabau, ketupat hadir dalam tradisi Makan Bajamba, sementara di Bali dikenal dengan sebutan tipat dan menjadi bagian dari upacara keagamaan Hindu.
Tak hanya kaya makna, ketupat juga mencerminkan nilai-nilai kearifan lokal, seperti gotong royong, kebersamaan, dan rasa syukur. Proses pembuatannya yang melibatkan keluarga atau tetangga secara bersama-sama menjadi simbol solidaritas sosial yang kuat.
Dalam era modern yang serba cepat, pelestarian tradisi ketupat menjadi penting agar generasi muda tetap mengenal dan menghargai warisan budaya leluhur. Ketupat bukan hanya makanan, tapi juga cerita tentang jati diri, nilai, dan kebersamaan.
“Ketupat mengajarkan kita untuk membungkus kesalahan dalam simpul keikhlasan dan membukanya dengan ketulusan hati,” ujar Budayawan Jawa, Ki Sarwo Utomo.
Sebagai bagian dari kekayaan budaya Indonesia, ketupat patut dilestarikan, tidak hanya sebagai hidangan khas Lebaran, tetapi juga sebagai simbol kearifan lokal yang tak lekang oleh zaman.***