SUMENEP (JARAK.co) – Ketupat, makanan khas yang identik dengan perayaan Idul Fitri, ternyata memiliki makna filosofis yang dalam dalam budaya Jawa. Istilah “ketupat” dalam bahasa Jawa disebut sebagai “kupat”, yang merupakan kependekan dari “ngaku lepat”.
Dalam bahasa Indonesia, frasa ini berarti “mengaku salah” atau “mengaku dosa”. Tradisi ini mencerminkan momen saling memaafkan di hari kemenangan setelah satu bulan penuh menjalankan ibadah puasa.
Selain itu, ketupat juga dimaknai sebagai “laku papat” atau empat tindakan, yang merujuk pada lebaran, luberan, lebaran, laburan. Keempat istilah ini menggambarkan perjalanan spiritual dan sosial manusia dalam meraih kemenangan dan kesucian diri.
Secara fisik, bentuk ketupat yang segi empat juga tidak lepas dari simbolisme. Bentuk ini melambangkan arah mata angin (utara, selatan, timur, barat) dan satu pusat yang dikenal dalam falsafah Jawa sebagai “kiblat papat limo pancer”.
Makna dari simbol ini adalah bahwa ke mana pun manusia pergi, ia akan selalu kembali kepada pusatnya, yakni Allah Sang Pencipta.
Ungkapan “Manut Takdire Gusti” atau “mengikuti takdir Tuhan” yang tertulis dalam kutipan, semakin menegaskan bahwa kehidupan manusia sebaiknya selalu berserah kepada kehendak Ilahi.
Melalui ketupat, masyarakat Jawa tidak hanya menikmati hidangan tradisional, tetapi juga merenungi nilai-nilai spiritual yang terkandung di dalamnya. Tradisi ini menjadi bukti betapa kaya dan mendalamnya warisan budaya Nusantara.***